“We’re not. No, we’re not friends. I know that there’s a limit to everything but my friends won’t love me like you do.” -Ed Sheeran
***
Lanjutkan membaca #11 Braja and Drupadi: No, We’re not Friends
“We’re not. No, we’re not friends. I know that there’s a limit to everything but my friends won’t love me like you do.” -Ed Sheeran
***
Lanjutkan membaca #11 Braja and Drupadi: No, We’re not Friends
Perahu kertas terlarung di genangan wastafelku. Kertas ungu yang dibuat tanganku sembari tersenyum itu berjalan perlahan ke ujung lain, untuk kemudian kularungkan kembali menuju ujung lainnya.
Kita begitu lugu, aku dan dirimu, selugu perahu kertas yang menuruti aliran air. Tiba-tiba aku iri pada keluguanku yang lama kukunci. Setiap kali tanganku melarungkan kembali perahu kertas tersebut setiap kali itu pula Dru mencoba membuka dirinya dalam Dru yang masih lugu.
Lanjutkan membaca #9 Braja dan Drupadi: Kita, Kenangan, dan Perahu Kertas
“Hai, Dru.” Dia melambaikan tangan canggung, dengan suara gemetar karena menggigil kedinginan; basah kuyup karena hujan. Dia tersenyum meski tubuhnya tidak bisa menutupi rasa dingin yang menderanya, “malam, Dru. Atau aku harus bilang pagi karena ini sudah lewat tengah malam?” Dia tertawa sendiri sebelum melanjutkan kalimatnya, “mhm, boleh aku pinjam handuk?”
“Y-ya, tentu.”
“Dan kamar mandi kalau bisa.”
Suara melankoli hujan yang turun di luar bertabrakan dengan suara adukan sendokku di cangkir kopi pemberian June beberapa tahun lalu, cangkir yang lebih mirip elipse daripada bulat sempurna. June membuatnya sendiri, June suka menghadiahkan hal-hal yang dibuatnya sendiri, sangat artistik dan klasik.
“Braja mau minum apa?” Jess sedari tadi sudah menahan tangannya agar tidak menempel di lengan Braja, atau wajahnya, atau pundaknya, atau hal lain yang biasa dilakukan Jess apabila bertemu dengan lelaki yang menguarkan aroma kejantanan seperti Braja. Dia tersenyum manis, khas Jess yang hampir membuatku menariknya keluar coffe shop.
“Teh, tanpa gula,” jawabku, “kamu masih suka itu, kan? Braja?”